Tuesday, September 22, 2020

Beli Saham atau Bitcoin

Sebenarnya bukan apple to apple untuk membandingkan saham dengan Bitcoin. Keduanya mempunyai banyak sekali perbedaan. Persamaan diantara keduanya adalah kita bisa untung ataupun rugi dengan jual beli saham ataupun bitcoin.

Jual beli saham sudah terjadi lebih dari seabad yang lalu, sedangkan Bitcoin baru benar-benar ditransaksikan sekitar 10 tahun terakhir. Naik turunnya harga saham tergantung dengan performa saham tersebut, risiko pasar, ataupun semacam rumor yang sengaja dibuat untuk memengaruhi pelaku pasar.

Hal yang berbeda adalah Bitcoin. Kemunculannya pada awalnya sebagai alat tukar alias uang digital, tetapi karena kepraktisannya berpindah melewati batas negara dengan cepat, transaksinya yang anonim, dan keamanannya yang terjamin, serta jumlah peredarannya yang terbatas hanya akan sampai 21 juta yang akan tercapai pada tahun 2140. Kelangkaa‎n Bitcoin dan semakin banyak orang yang percaya akan nilai Bitcoin menjadikannya suatu aset bukan lagi sekedar alat tukar yang dari sesuatu yang nyaris tidak ada harganya menjadi aset bernilai lebih dari $10.000 per satuannya.

Yang perlu diingat, di Indonesia untuk bertransaksi saham sudah cukup lengkap payung hukumnya dan sangat didukung pemerintah. Beda halnya dengan Bitcoin, meskipun sudah legal untuk ditransaksikan layaknya aset dengan peraturan menteri perdagangan yang dijabarkan lebih lanjut dengan keputusan kepala bappebti di bawah Kementerian Perdagangan, Bitcoin masih belum diakui oleh Bank Indonesia sebagai alat tukar. Perlindungan terhadap pemilik Bitcoin juga masih lemah, belum lagi dari segi keamanan exchange-nya tempat kita dompet tempat kita menyimpan Bitcoin masih rawan peretasan.

Berinvestasi tentunya bermacam-macam risikonya. Investasi saham dan Bitcoin tak luput dari risiko. Tinggal bagaimana kita menyikapi risiko yang ada, mengenali diri kita apakah risk takers atau risk averse, sehingga tidak menyesal di kemudian hari dan lebih tenang dalam berinvestasi.




Wednesday, November 22, 2017

Belajar Investasi Saham 5 : Pilihan Saham (part 3)

"Aduh, mau beli saham apa ya.....?"

Kalimat seperti itu seringkali terlontar dari para investor pemula yang kebingungan memutuskan untuk membeli saham apa. Semua keputusan membeli saham apa kembali lagi kepada kita, bagaimana profil risiko kita, apa tujuan investasi kita, mau jangka panjang atau jangka pendek. Nggak ada habis-habisnya kalau kita bahas berbagai faktor yang menjadikan kita mantap dan sangat yakin dalam membeli saham.

Artikel sebelumnya sudah kita bahas tentang pilihan saham di sektor consumer goods (Baca Artikel: Belajar Investasi Saham 4). Nah, sekarang coba kita bahas sektor finance yang didominasi saham-saham perbankan. Saham-saham jenis ini mempunyai volatilitasi pasar yang sangat tinggi. Misal IHSG naik 30%, saham-saham di sektor finance bisa naik lebih dari 30%, begitu pula sebaliknya jika IHSG jatuh sebesar 20%, saham-saham ini juga akan cenderung berguguran dengan turun lebih dari 20%.

Banyak saham-saham perbankan papan atas yang menghuni sektor ini, diantaranya yang terbesar adalah saham BRI dan BCA dengan kode saham BBRI dan BBCA. Mari kita lihat performa kedua saham ini selama 10 tahun terakhir untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai potensi kerugian ataupun keuntungannya memiliki saham ini. Kita juga bisa melihat tren harga kedua saham tersebut dalam 10 tahun terakhir.

Coba kita simulasikan, misalkan pada bulan november 2007 kita membeli saham BBRI pada harga tertingginya yaitu Rp4.350,-/lembar sahamnya. Misalkan kita punya uang Rp100 juta dan kita belikan saham BBRI, maka pada saat itu kita akan mendapatkan 22.988,5 lembar, kita bulatkan saja menjadi 22.988 lembar. Nah, jika kita menyimpannya sampai saat ini maka kepemilikan saham kita akan berubah menjadi 10 kali lipat menjadi 229.880 lembar (karena stock split 2 kali dalam tempo 10 tahun yaitu 1:2 dan 1:5), yang nilainya jika kita jual pada harga penutupan 21 November 2017 Rp3.280/lembar maka investasi saham BBRI kita nilainya menjadi = 229.880 x Rp3.280,- = Rp754.006.400,- yang berarti dana kita berkembang hampir 8 kali lipat. Tapi tunggu dulu, setelah ditambah dividennya selama 10 tahun apalagi jika dari dividen itu kita belikan lagi saham BBRI, maka kenaikan investasi kita bisa menjadi 9 bahkan 10 kali lipat. Wow, angka yang luar biasa!

Sekarang kita bandingkan dengan saham bank swasta nasional terbesar di negeri ini Bank Central Asia (BBCA). Misal kita beli saham ini pada harga tertingginya pada November 2007 yaitu Rp3.775/lembar. Jika kita punya uang Rp100 juta maka akan dapat 26.490 lembar. Nah, jika kita menyimpannya sampai saat ini, maka kepemilikan saham kita akan menjadi 52.980 lembar (karena stock split 1 saham lama menjadi 2 saham baru). Coba kita simulasikan jika kita jual saham BCA kita pada harga penutupan tanggal 21 November 2017 yaitu Rp21.125,- yang berarti kita akan mendapatkan dana sebesar= 52.980 x Rp21.125 = Rp1.119.202.500,- jadi lebih dari 11 kali lipat. Jika ditambah dividen dan diinvestasikan kembali mungkin bisa 12 -13 kali lipat. Wow, Outstanding, Gilaaaa!

Menarik sekali ya, tapi untuk bisa menikmati hasil menggiurkan seperti simulasi di atas tentunya kita harus matang sebagai investor jangka panjang. Perlu diingat pada tahun 2008 Indonesia juga terimbas krisis global terutama pada pasar sahamnya. Saham-saham perbankan tergerus cukup dalam sekitar 50% tak terkecuali BRI dan BCA, tapi kenyataannya sekarang saham-saham tersebut bangkit dari krisis dan mencapai rekor yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kalau kita tidak sanggup melihat penurunan harga saham pada tahun 2008 mungkin kita akan segera menjualnya dengan kerugian tentunya dan pasti akan sangat menyesal jika kita melihat harganya saat ini. Justru di saat krisis yang kita lakukan jika kita masih [unya uang lebih perlu menambah saham kita, coba kita bayangkan jika kita bisa membeli saham BRI atau BCA di harga terendahnya saat krisis, bisa jadi menjadi 20 kali lipat nilai-nya saat ini.

Masih bingung mau beli saham apa? Semoga simulasi di atas memberikan gambaran sebagai pertimbangan dalam membeli saham.

"Memenangkan pasar saham butuh kesabaran, bukan sekedar kepintaran!"

Saturday, October 21, 2017

Belajar Investasi Saham 4 : Pilihan Saham (part 2)

Berinvestasi dalam bentuk saham memang gampang-gampang susah. Salah satu yang mempengaruhi keberhasilan kita dalam berinvestasi di pasar saham adalah ketepatan dalam memilih saham. Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan dalam memilih saham. timing, nilai pasar, profil perusahaan, laporan keuangan perusahaan, rumor dan sebagainya.

Dalam artikel ini saya akan membahas tentang salah satu jenis saham yaitu saham-saham consumer goods, atau saham-saham perusahaan yang memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari. Di Bursa Efek Indonesia ada 2 perusahaan raksasa yang mendominasi sektor ini di Indonesia, yaitu Unilever dan Indofood. Siapa sih yang nggak tahu Unilever, perusahaan yang memproduksi dari pasta gigi, sabun, kecap, sampai dengan es krim ini sudah bercokol lama di Indonesia bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Begitu juga dengan Indofood, raksasa industri makanan milik dari Grup Salim yang didirikan oleh Sudono Salim alias Lien Tsu Liong ini begitu melegenda di Indonesia dengan produknya yang paling terkenal yaitu Indomie, yang sudah Go Internasional bahkan menjadi makanan favorit di berbagai belahan dunia.

Kebetulan saya mengikuti pergerakan kedua saham ini selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Ternyata hasilnya luar biasa, Wow......! Keduanya menunjukkan performa yang hampir sama, yaitu dalam rentang 10 tahun terakhir nilai saham keduanya naik sekitar 10x lipat. Misalkan pada tahun 2007 lalu kamu berinvestasi pada saham ini sebesar Rp100 juta. Saat ini nilai sahammu itu sekitar Rp1 M. Luar biasa bukan! Belum lagi jika ditambah dividen yang dibagikan tiap tahunnya, mungkin nilai bersih hasil investasimu setara 11 atau 12 kali lipat dari investasi awal.

Kedua saham ini ataupun saham-saham consumer goods memang bukan merupakan saham-saham yang menorehkan kenaikan harga saham paling tinggi, tapi perlu diingat memegang saham ini kita akan merasa lebih aman dan tenang, mengapa bisa demikian? Baik Unilever ataupun Indofood merupakan saham dengan volatilitas rendah, salam artian ketika mayoritas harga-harga saham lainnya cenderung naik tinggi kedua saham ini kenaikannya tidak tinggi, begitu pula ketika keaadaan sebaliknya ketika saham-saham lainnya berguguran terlalu dalam, kedua saham ini akan menunjukkan penurunan yang tidak terlalu signifikan. namun, dalam jangka panjang kedua saham ini konsisten menunjukkan kenaikan, pelan tapi pasti, seperti pepatah Jawa, Alon-alon waton kelakon.

Ketika krisis global 2008, kedua saham ini tidak jatuh terlalu dalam. Saham-saham lainnya bisa jatuh hingga sekitar 50-60%, kedua saham ini paling jatuh sekitar 20-25%. Cukup bisa ditolerir dan terkendali. Siapa sih yang nggak sport jantung jika sahamnya jatuh lebih dari 50%, dan ketika itu banyak investor yang bunuh diri karena tidak sanggup melihat hartanya tergerus sangat dalam, mungkin juga terjerat hutang dalam pembelian sahamnya itu. Amit-amit, jangan sampai kita mengalami hal seperti itu.

Siapa sih yang nggak butuh odol, sabun, mie instan meski krisis sekalipun. Hal inilah yang menjadikan kedua saham ini cukup layak dikoleksi terutama untuk jangka panjang. Memang banyak yang bilang kalau saham ini cocoknya untuk para orang tua yang ingin mewariskannya sebagai harta karun untuk anak cucunya, bukan untuk anak muda yang suka risiko. Semua itu tergantung profil risiko masing-masing investor apakah Risk Averse atau Risk Takers? Jelas saham ini kurang cocok sebagai saham spekulasi atau untuk trading harian, karena volatilitasnya yang rendah. So, long term investment is the best choice for this stocks!

Saturday, September 23, 2017

Belajar Investasi Saham 3 : Pilihan Saham (part 1)

Dalam berinvestasi di pasar saham tentunya kita kan memilih saham-saham apa saja yang akan kita beli. Di pasar ada istilah-istilah yang tentang kategori saham yang seringkali investor dengar, diantaranya adalah saham-saham berkategori Blue Chip, Papan Tengah, ataupun Gorengan.

Saham Blue chip dalam hal ini diartikan sebagai saham-saham dari perusahaan-perusahaan yang berkapitalisasi besar, yang likuid, konsisten di pasar, volatilitasnya tidak terlalu tinggi, pendapatannya stabil dan tidak terlalu banyak punya utang. Kalau di Bursa Efek Indonesia (BEI) pastinya saham-saham jenis ini masuk ke kumpulan saham LQ45. Contoh riil-nya dari saham-saham Blue Chip di BEI misalnya saham Bank BRI (BBRI), Astra Internasional (ASII), Semen Indonesia (SMGR), Telkom (TLKM), Gudang Garam (GGRM) dan banyak lagi perusahaan besar nasional yang namanya tidak asing di telinga kita.

Yang kedua adalah saham-saham papan tengah yaitu saham-saham perusahaan-perusahaan yang kapitalisasinya tidak begitu besar tapi masih cukup likuid, perusahaan-perusahaan yang msih dalam pertumbuhan tinggi dengan potensi profit yang tinggi, dan harga per lembarnya pun biasanya tidak terlalu tinggi. Misalnya saham Waskita Beton (WSBP), Bank Jabar Banten (BJBR), Bank Jatim (BJTM), dan masih banyak perusahaan-perusahaan lainnya yang tak jarang menjadi langganan saham yang masuk daftar LQ45.

yang terakhir adalah saham-saham gorengan. Bukan saham perusahaan yang memproduksi gorengan, tapi saham-saham yang mempunyai volatilitas tinggi alias pergerakan harga saham yang sangat fluktuatif kayak roller coaster. Saham-saham jenis ini biasanya saham-saham perusahaan yang kurang terlalu dikenal publik, tidak menunjukkan kontinyuitas laba yang stabil, bahkan banyak yang merugi, namun harganya bisa naik turun dengan sangat cepat dalam rentang waktu yang relatif singkat karena bisa dengan mudah dipermainkan bandar.

Nah, setelah mengetahui jenis-jenis saham yang ada di BEI tentunya kita sebagai investor dihadapkan akan berbagai pilihan. Kalau mau hasil yang stabil, volatilitas harga saham yang relatif rendah ya kita bisa membeli saham-saham Blue Chip meskipun harganya seringkali sudah tinggi, tapi banyak juga Blue Chip yang secara nominal harga per lembarnya masih relatif rendah di bawah Rp10.000,- karena sudah dilakukan stock split sebelumnya.

Kalau kita tidak ingin investasi tapi cenderung spekulasi, nah saham gorengan mungkin cocok untuk menaikkan adrenalin kita, asal jangan sampai membuat kita stroke mendadak ya, hehe......


Sunday, February 28, 2016

Belajar Investasi Saham 2 : Profil Risiko

Sebelum kita memutuskan untuk berinvestasi di pasar saham kita harus mengenali profil risiko kita. Profil risiko masing-masing orang berbeda-beda, ada yang sangat berani mengambil risiko (risk takers) atau yang cenderung tidak berani mengambil risiko/menghindari risiko (risk averse).

Bagaimana kita mengenali risiko kita? Tentunya kita sendiri yang bisa mengukurnya. Sebagai ilustrasi misalkan kita mempunyai uang Rp10.000.000 dan kita investasikan semuanya dalam bentuk saham. Risiko kita membeli saham tentunya bisa saja saham kita turun nilai pasarnya sehingga jika kita jual saham tersebut tentunya kerugian yang kita alami, bahkan kita bisa kehilangan nilai investasi kita jika saham yang kita beli tersebut di-delisting (dikeluarkan dari bursa alias tidak lagi diperdagangkan di bursa). Nah, kecenderungan tiap-tiap orang dalam menghadapi risiko tentunya berbeda-beda. Misalkan dalam kasus di atas kita nggak masalah jika nilai investasi kita turun 30% dari nominal yang kita keluarkan saat investasi awal, atau kita nggak mempermasalahkan jika sekali pun uang yang diinvestasikan hilang sama sekali, maka semakin besar kita menoleransi batas kerugian kita maka semakin besar kecenderungan kita sebagai risk takers. Tapi ingat prinsip High Risk High Return, artinya suatu investasi yang berisiko tinggi pasti juga punya peluang untuk memberikan imbal hasil yang tinggi pula.

Kemampuan kita dalam mengenali secara benar profil risiko kita adalah salah satu langkah awal agar kita nantinya tidak stres, shock, atau bahkan 'gila' karena sangat dinamisnya pasar saham dan menentukan langkah kita tentang berapa nominal uang yang kita investasikan di pasar modal, saham jenis apa saja yang sebaiknya saya beli seuai dengan profil risiko saya, dan berapa lama sebaiknya saya memegang suatu saham, bagaimana hal-hal yang harus saya lakukan saat pasar sedang bearish (tren menurun harga-harga saham) ataupun saat pasar sedang bullish (tren naiknya harga-harga saham).

Kenali dulu profil risikomu dengan benar, menjadikan investasi di pasar saham akan lebih tenang dan menyenangkan.

Saturday, February 27, 2016

Belajar Investasi Saham 1 : Introduction

Ketika kita melihat berita di TV yang menayangkan tentang Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia yang terus naik mengikuti tren global pastinya kita sebagai orang awam hanya bertanya-tanya, emangnya ada efeknya sama gue, emangnya kalau IHSG naik gue akan tambah kaya, emangnya kalau IHSG naik Indonesia akan semakin sejahtera?

Pertanyaan-pertanyaan itu wajar dan lumrah bagi kita yang belum tahu apa itu saham, bagaimana cara investasinya, terus apa kaitannya dengan IHSG, bla bla bla... dengan segala tetak bengeknya. Nah, berinvestasi di pasar modal Indonesia bisa dilakukan oleh setiap orang, nggak harus punya sertifikasi manajer investasi untuk mulai berinvestasi, nggak harus punya background pendidikan ekonomi ataupun pengetahuan yang outstanding tentang saham untuk bisa mencicip manfaat dari investasi saham, dan tidak harus jadi jutawan dulu untuk bisa membeli saham. So, intinya berinvestasi saham adalah hal yang mudah dan menjanjikan tentunya.

Berinvestasi saham tentunya tidak bisa kita bicara tentang jaminan maupun kontinyuitas pendapatan perbulannya, oleh karena itu kita sebelum berinvestasi saham harus mengerti dahulu apa sih sebenarnya saham itu, apa sih risikonya, dan bagaimana prinsip-prinsip investasi saham yang benar, bagaimana sih kondisi psikologis yang harus kita miliki sebagai investor agar kita tidak gampang panik dan pada akhirnya menjadi investor yang sukses. OK, pada tulisan-tulisan saya selanjutnya, saya akan membahas segala sesuatu tentang saham dengan bahasa yang membumi dan sekiranya mudah dipahami oleh pembaca sekalipun tidak punya background pendidikan ekonomi.

Hari gini nggak tahu investasi saham, lebih baik loe kembali ke zaman majapahit saja lah, pinjam pintu doraemon, hehe.... (sorry just kidding).

Monday, November 30, 2015

Standar Perilaku Wakil Manajer Investasi : Analisa, Rekomendasi, dan Keputusan Investasi

Bab kelima dari Standar perilaku wakil manajer investasi mengatur kaitannya dengan analisa, rekomendasi, dan keputusan investasi.

A. Cermat dan Beralasan

  1. Dalam menganalisa investasi, membuat rekomendasi investasi, dan mengambil keputusan investasi, Anggota harus selalu melakukannya secara cermat, independen, dan menyeluruh.
  2. Semua analisa, rekomendasi, atau keputusan investasi harus didasarkan atas alasan pemikiran yang layak dan didukung oleh data penyidikan yang tepat.
B. Komunikasi dengan Klien/Calon Klien.

Dalam berkomunikasi dengan klien maupun calon klien, Anggota harus:
  1. menjelaskan mengenai filosofi atau prinsip dasar dalam menganalisa investasi, proses pemilihan efek, dan proses penyusunan portofolio. Bila ada perubahan material yang mempengaruhi proses-proses tersebut, klien/calon klien harus segera diinformasikan.
  2. menggunakan pertimbangan yang layak dalam mengenali faktor-faktor mana yang penting dalam membuat analisa rekomendasi, atau keputusan investasi, dan menyampaikannya kepada klien/calon klien.
  3. membedakan antara fakta dan opini dalam penyajian analisa dan rekomendasi investasi
C. Penyimpanan Catatan/Data

Anggota harus menyimpan catatan/data yang digunakan dalam analisa, rekomendasi, pengambilan keputusan investasi ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan investasi, yang dikomunikasikan kepada klien.


Sumber: Kode Etik dan Standar Perilakui AWMII