Wednesday, November 22, 2017

Belajar Investasi Saham 5 : Pilihan Saham (part 3)

"Aduh, mau beli saham apa ya.....?"

Kalimat seperti itu seringkali terlontar dari para investor pemula yang kebingungan memutuskan untuk membeli saham apa. Semua keputusan membeli saham apa kembali lagi kepada kita, bagaimana profil risiko kita, apa tujuan investasi kita, mau jangka panjang atau jangka pendek. Nggak ada habis-habisnya kalau kita bahas berbagai faktor yang menjadikan kita mantap dan sangat yakin dalam membeli saham.

Artikel sebelumnya sudah kita bahas tentang pilihan saham di sektor consumer goods (Baca Artikel: Belajar Investasi Saham 4). Nah, sekarang coba kita bahas sektor finance yang didominasi saham-saham perbankan. Saham-saham jenis ini mempunyai volatilitasi pasar yang sangat tinggi. Misal IHSG naik 30%, saham-saham di sektor finance bisa naik lebih dari 30%, begitu pula sebaliknya jika IHSG jatuh sebesar 20%, saham-saham ini juga akan cenderung berguguran dengan turun lebih dari 20%.

Banyak saham-saham perbankan papan atas yang menghuni sektor ini, diantaranya yang terbesar adalah saham BRI dan BCA dengan kode saham BBRI dan BBCA. Mari kita lihat performa kedua saham ini selama 10 tahun terakhir untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai potensi kerugian ataupun keuntungannya memiliki saham ini. Kita juga bisa melihat tren harga kedua saham tersebut dalam 10 tahun terakhir.

Coba kita simulasikan, misalkan pada bulan november 2007 kita membeli saham BBRI pada harga tertingginya yaitu Rp4.350,-/lembar sahamnya. Misalkan kita punya uang Rp100 juta dan kita belikan saham BBRI, maka pada saat itu kita akan mendapatkan 22.988,5 lembar, kita bulatkan saja menjadi 22.988 lembar. Nah, jika kita menyimpannya sampai saat ini maka kepemilikan saham kita akan berubah menjadi 10 kali lipat menjadi 229.880 lembar (karena stock split 2 kali dalam tempo 10 tahun yaitu 1:2 dan 1:5), yang nilainya jika kita jual pada harga penutupan 21 November 2017 Rp3.280/lembar maka investasi saham BBRI kita nilainya menjadi = 229.880 x Rp3.280,- = Rp754.006.400,- yang berarti dana kita berkembang hampir 8 kali lipat. Tapi tunggu dulu, setelah ditambah dividennya selama 10 tahun apalagi jika dari dividen itu kita belikan lagi saham BBRI, maka kenaikan investasi kita bisa menjadi 9 bahkan 10 kali lipat. Wow, angka yang luar biasa!

Sekarang kita bandingkan dengan saham bank swasta nasional terbesar di negeri ini Bank Central Asia (BBCA). Misal kita beli saham ini pada harga tertingginya pada November 2007 yaitu Rp3.775/lembar. Jika kita punya uang Rp100 juta maka akan dapat 26.490 lembar. Nah, jika kita menyimpannya sampai saat ini, maka kepemilikan saham kita akan menjadi 52.980 lembar (karena stock split 1 saham lama menjadi 2 saham baru). Coba kita simulasikan jika kita jual saham BCA kita pada harga penutupan tanggal 21 November 2017 yaitu Rp21.125,- yang berarti kita akan mendapatkan dana sebesar= 52.980 x Rp21.125 = Rp1.119.202.500,- jadi lebih dari 11 kali lipat. Jika ditambah dividen dan diinvestasikan kembali mungkin bisa 12 -13 kali lipat. Wow, Outstanding, Gilaaaa!

Menarik sekali ya, tapi untuk bisa menikmati hasil menggiurkan seperti simulasi di atas tentunya kita harus matang sebagai investor jangka panjang. Perlu diingat pada tahun 2008 Indonesia juga terimbas krisis global terutama pada pasar sahamnya. Saham-saham perbankan tergerus cukup dalam sekitar 50% tak terkecuali BRI dan BCA, tapi kenyataannya sekarang saham-saham tersebut bangkit dari krisis dan mencapai rekor yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kalau kita tidak sanggup melihat penurunan harga saham pada tahun 2008 mungkin kita akan segera menjualnya dengan kerugian tentunya dan pasti akan sangat menyesal jika kita melihat harganya saat ini. Justru di saat krisis yang kita lakukan jika kita masih [unya uang lebih perlu menambah saham kita, coba kita bayangkan jika kita bisa membeli saham BRI atau BCA di harga terendahnya saat krisis, bisa jadi menjadi 20 kali lipat nilai-nya saat ini.

Masih bingung mau beli saham apa? Semoga simulasi di atas memberikan gambaran sebagai pertimbangan dalam membeli saham.

"Memenangkan pasar saham butuh kesabaran, bukan sekedar kepintaran!"

Saturday, October 21, 2017

Belajar Investasi Saham 4 : Pilihan Saham (part 2)

Berinvestasi dalam bentuk saham memang gampang-gampang susah. Salah satu yang mempengaruhi keberhasilan kita dalam berinvestasi di pasar saham adalah ketepatan dalam memilih saham. Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan dalam memilih saham. timing, nilai pasar, profil perusahaan, laporan keuangan perusahaan, rumor dan sebagainya.

Dalam artikel ini saya akan membahas tentang salah satu jenis saham yaitu saham-saham consumer goods, atau saham-saham perusahaan yang memproduksi barang-barang kebutuhan sehari-hari. Di Bursa Efek Indonesia ada 2 perusahaan raksasa yang mendominasi sektor ini di Indonesia, yaitu Unilever dan Indofood. Siapa sih yang nggak tahu Unilever, perusahaan yang memproduksi dari pasta gigi, sabun, kecap, sampai dengan es krim ini sudah bercokol lama di Indonesia bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Begitu juga dengan Indofood, raksasa industri makanan milik dari Grup Salim yang didirikan oleh Sudono Salim alias Lien Tsu Liong ini begitu melegenda di Indonesia dengan produknya yang paling terkenal yaitu Indomie, yang sudah Go Internasional bahkan menjadi makanan favorit di berbagai belahan dunia.

Kebetulan saya mengikuti pergerakan kedua saham ini selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Ternyata hasilnya luar biasa, Wow......! Keduanya menunjukkan performa yang hampir sama, yaitu dalam rentang 10 tahun terakhir nilai saham keduanya naik sekitar 10x lipat. Misalkan pada tahun 2007 lalu kamu berinvestasi pada saham ini sebesar Rp100 juta. Saat ini nilai sahammu itu sekitar Rp1 M. Luar biasa bukan! Belum lagi jika ditambah dividen yang dibagikan tiap tahunnya, mungkin nilai bersih hasil investasimu setara 11 atau 12 kali lipat dari investasi awal.

Kedua saham ini ataupun saham-saham consumer goods memang bukan merupakan saham-saham yang menorehkan kenaikan harga saham paling tinggi, tapi perlu diingat memegang saham ini kita akan merasa lebih aman dan tenang, mengapa bisa demikian? Baik Unilever ataupun Indofood merupakan saham dengan volatilitas rendah, salam artian ketika mayoritas harga-harga saham lainnya cenderung naik tinggi kedua saham ini kenaikannya tidak tinggi, begitu pula ketika keaadaan sebaliknya ketika saham-saham lainnya berguguran terlalu dalam, kedua saham ini akan menunjukkan penurunan yang tidak terlalu signifikan. namun, dalam jangka panjang kedua saham ini konsisten menunjukkan kenaikan, pelan tapi pasti, seperti pepatah Jawa, Alon-alon waton kelakon.

Ketika krisis global 2008, kedua saham ini tidak jatuh terlalu dalam. Saham-saham lainnya bisa jatuh hingga sekitar 50-60%, kedua saham ini paling jatuh sekitar 20-25%. Cukup bisa ditolerir dan terkendali. Siapa sih yang nggak sport jantung jika sahamnya jatuh lebih dari 50%, dan ketika itu banyak investor yang bunuh diri karena tidak sanggup melihat hartanya tergerus sangat dalam, mungkin juga terjerat hutang dalam pembelian sahamnya itu. Amit-amit, jangan sampai kita mengalami hal seperti itu.

Siapa sih yang nggak butuh odol, sabun, mie instan meski krisis sekalipun. Hal inilah yang menjadikan kedua saham ini cukup layak dikoleksi terutama untuk jangka panjang. Memang banyak yang bilang kalau saham ini cocoknya untuk para orang tua yang ingin mewariskannya sebagai harta karun untuk anak cucunya, bukan untuk anak muda yang suka risiko. Semua itu tergantung profil risiko masing-masing investor apakah Risk Averse atau Risk Takers? Jelas saham ini kurang cocok sebagai saham spekulasi atau untuk trading harian, karena volatilitasnya yang rendah. So, long term investment is the best choice for this stocks!

Saturday, September 23, 2017

Belajar Investasi Saham 3 : Pilihan Saham (part 1)

Dalam berinvestasi di pasar saham tentunya kita kan memilih saham-saham apa saja yang akan kita beli. Di pasar ada istilah-istilah yang tentang kategori saham yang seringkali investor dengar, diantaranya adalah saham-saham berkategori Blue Chip, Papan Tengah, ataupun Gorengan.

Saham Blue chip dalam hal ini diartikan sebagai saham-saham dari perusahaan-perusahaan yang berkapitalisasi besar, yang likuid, konsisten di pasar, volatilitasnya tidak terlalu tinggi, pendapatannya stabil dan tidak terlalu banyak punya utang. Kalau di Bursa Efek Indonesia (BEI) pastinya saham-saham jenis ini masuk ke kumpulan saham LQ45. Contoh riil-nya dari saham-saham Blue Chip di BEI misalnya saham Bank BRI (BBRI), Astra Internasional (ASII), Semen Indonesia (SMGR), Telkom (TLKM), Gudang Garam (GGRM) dan banyak lagi perusahaan besar nasional yang namanya tidak asing di telinga kita.

Yang kedua adalah saham-saham papan tengah yaitu saham-saham perusahaan-perusahaan yang kapitalisasinya tidak begitu besar tapi masih cukup likuid, perusahaan-perusahaan yang msih dalam pertumbuhan tinggi dengan potensi profit yang tinggi, dan harga per lembarnya pun biasanya tidak terlalu tinggi. Misalnya saham Waskita Beton (WSBP), Bank Jabar Banten (BJBR), Bank Jatim (BJTM), dan masih banyak perusahaan-perusahaan lainnya yang tak jarang menjadi langganan saham yang masuk daftar LQ45.

yang terakhir adalah saham-saham gorengan. Bukan saham perusahaan yang memproduksi gorengan, tapi saham-saham yang mempunyai volatilitas tinggi alias pergerakan harga saham yang sangat fluktuatif kayak roller coaster. Saham-saham jenis ini biasanya saham-saham perusahaan yang kurang terlalu dikenal publik, tidak menunjukkan kontinyuitas laba yang stabil, bahkan banyak yang merugi, namun harganya bisa naik turun dengan sangat cepat dalam rentang waktu yang relatif singkat karena bisa dengan mudah dipermainkan bandar.

Nah, setelah mengetahui jenis-jenis saham yang ada di BEI tentunya kita sebagai investor dihadapkan akan berbagai pilihan. Kalau mau hasil yang stabil, volatilitas harga saham yang relatif rendah ya kita bisa membeli saham-saham Blue Chip meskipun harganya seringkali sudah tinggi, tapi banyak juga Blue Chip yang secara nominal harga per lembarnya masih relatif rendah di bawah Rp10.000,- karena sudah dilakukan stock split sebelumnya.

Kalau kita tidak ingin investasi tapi cenderung spekulasi, nah saham gorengan mungkin cocok untuk menaikkan adrenalin kita, asal jangan sampai membuat kita stroke mendadak ya, hehe......